Bumi adalah sebuah keajaiban semesta. Pada masa awal tata surya, Matahari berada dalam fase T–Tauri yang dramatis sehingga membuat senyawa–senyawa gampang menguap seperti air, hidrogen, helium, metana, amoniak, nitrogen, karbon monoksida dan karbondioksida terusir dari permukaan planet–planet terestrial bersama sisa gas dan debu yang membentuk tata surya. Fase T–Tauri menyebabkan Matahari meradiasikan angin Matahari jauh lebih intens dan melepaskan panas dengan intensitas lebih besar, sehingga pada orbit Bumi saja suhunya diestimasikan sebesar 2.000° Celcius atau 100 kali lebih panas dibanding sekarang.
Maka menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa kini Bumi demikian berlimpah dengan air? Sebab ganasnya lingkungan tata surya purba pada saat Matahari menjalani fase T–Tauri hanya akan menyisakan senyawa–senyawa silikat saja di Bumi. Sementara air terusir jauh–jauh sampai ke jarak 600 hingga 750 juta km dari Matahari. Dan dibandingkan planet–planet terestrial tetangganya, hanya di Bumi air berada dalam wujud cair dan berlimpah. Sangat berbeda dengan Mars, yang hanya bisa dijumpai adanya jejak–jejak aliran air purba di permukaannya dengan siklus pembasahan sekitar setengah hingga sejuta tahun sekali. Pun demikian Merkurius, dimana air bahkan hanya bisa dijumpai pada kawasan sangat terbatas di kedua kutubnya sebagai bekuan abadi (permafrost).
Darimana air di Bumi berasal menjadi pertanyaan besar yang terus menggayuti benak astronomi. Air diketahui tersedia berlimpah di kawasan pinggiran tata surya, tersimpan sebagai bekuan (es) pada kometisimal–kometisimal yang menghuni awan komet Opik–Oort maupun sabuk Kuiper–Edgeworth. Satu–satunya mekanisme yang memungkinkan mengangkut air dari kawasan ini ke bagian dalam tata surya, khususnya ke planet–planet terestrial dan lebih khusus lagi ke Bumi hanyalah tumbukan benda langit. Dalam hal ini adalah tumbukan komet dengan Bumi. Meski tumbukan komet selalu diikuti pelepasan energi sangat besar yang ditandai munculnya bola api tumbukan bersuhu sangat tinggi, namun distribusi suhunya tidaklah homogen sehingga hanya sebagian kecil saja air dalam komet yang terurai menjadi hidrogen dan oksigen. Sisanya tetap berupa air meski dalam wujud uap. Jejak kawah di Bulan menyajikan bukti telanjang bahwa Bumi purba pernah mengalami periode paling riuh dalam tumbukan dengan komet, yang dikenal sebagai Periode Hantaman Besar. Hantaman Besar berlangsung 4,2–3,8 milyar tahun silam, dengan jumlah tumbukan komet per satuan waktu adalah sangat besar hingga sejuta kali lipat dari nilai sekarang.
Namun komet dari mana yang berperan mengguyurkan air ke Bumi? Kini teka–teki itu mulai sedikit terkuak seiring publikasi hasil observasi terhadap komet Hartley 2 oleh para astronom Eropa yang bersenjatakan teleskop landas bumi Herschel. Komet yang melintas di dekat Bumi pada November 2010 lalu ternyata memiliki sidik jari nyaris identik dengan air di Bumi.
Berbeda dengan observasi in–situ seperti yang dilakukan NASA lewat misi EPOXI (Extrasolar Planet Observation and Deep Impact Extended Investigation) yang bertulangpunggungkan wahana antariksa veteran Deep Impact, observasi Herschel lebih menekankan pada komposisi air khususnya rasio air berat terhadap air ringan (air normal) dalam coma Hartley 2. Air berat merupakan istilah populer bagi D2O, yakni molekul identik air yang atom–atom hidrogennya digantikan oleh atom deuterium, yakni atom hidrogen yang inti atomnya berupa 1 proton + 1 neutron. Sementara air ringan adalah air biasa atau H2O. Rasio antara air berat terhadap air ringan, atau lebih spesifik lagi antara atom deuterium terhadap atom hidrogen, merupakan sidik jari bagi air.
Air di Bumi mengandung 1.558 atom deuterium dalam setiap 10 juta atom hidrogen. Sidik jari ini sangat berbeda dibandingkan air pada enam komet yang telah diobservasi sebelumnya dan diyakini berasal dari awan komet Opik–Oort, salah satunya komet Halley. Air pada komet–komet tersebut mengandung atom deuterium lebih besar yakni 2.960 atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Angka ini nyaris dua kali lipat sidik jari air di Bumi, sehingga jelas air di Bumi tidak berasal dari kometisimal–kometisimal awan komet Opik–Oort.
Yang mengejutkan, justru sidik jari air di meteorit karbon kondritik yang lebih mendekati sidik jari air di Bumi, yakni dengan komposisi sekitar 1.400 atom deuterium dalam setiap 10 juta atom hidrogen. Namun meteorit tipe ini merupakan pecahan asteroid, khususnya asteroid kelas M yang terletak di Sabuk Asteroid Utama. Asteroid M terdistribusi pada jarak antara 300 hingga 600 juta km dari Matahari dengan konsentrasi terbanyak pada jarak sekitar 450 juta km. Meskipun air pada masa tata surya purba, khususnya saat Matahari menjalani fase T–Tauri, berada pada jarak antara 600 hingga 750 juta km dari Matahari sehingga sebagian populasi asteroid M tercakup didalamnya, namun jumlahnya cukup kecil sehingga tidak memungkinkan mencukupi suplai air ke Bumi.
Observasi teleskop landas bumi Herschel dengan memanfaatkan instrumen Heterodyne Instrument for the Far Infrared menyajikan fakta : air di komet Hartley 2 mengandung 1.610 atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Sidik jari ini nyaris identik dengan sidik jari air di Bumi. Dan dengan fakta bahwa komet Hartley 2 berasal dari kometisimal sabuk Kuiper–Edgeworth, maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa air di Bumi memang datang dari kawasan ini. Inilah benang merah itu.
Dengan data terbaru ini maka kita mampu merekonstruksikan datangnya air ke Bumi dengan sedikit lebih baik. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Periode Hantaman Besar, yang disebabkan oleh migrasi planet–planet gas. Saturnus, Uranus dan Neptunus purba bergerak lebih menjauh terhadap Matahari dibanding lokasi pembentukannya, sementara Jupiter purba justru sebaliknya yakni lebih mendekat ke Matahari. Migrasi ini menyebabkan planetisimal–planetisimal mini yang berada di antaranya dipaksa hengkang dari lokasi pembentukannya. Sebagian dihentakkan keluar menjauhi Matahari hingga menyusun sabuk Kuiper–Edgeworth. Namun sebagian lainnya dipaksa melesat menuju kawasan tata surya bagian dalam sehingga menghujani planet–planet terestrial.
Pada periode ini, Bumi diperkirakan menerima sedikitnya 70 trilyun ton air, yang memungkinkan untuk menciptakan samudera pertama. Planet–planet terestrial lainnya pun mengalami hal serupa. Hanya saja baik Mars, Venus maupun Merkurius tidaklah seberuntung Bumi sehingga air tak dapat bertahan lama di permukaan planet–planet tersebut.
Sumber : www.langitbiru.com
Maka menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa kini Bumi demikian berlimpah dengan air? Sebab ganasnya lingkungan tata surya purba pada saat Matahari menjalani fase T–Tauri hanya akan menyisakan senyawa–senyawa silikat saja di Bumi. Sementara air terusir jauh–jauh sampai ke jarak 600 hingga 750 juta km dari Matahari. Dan dibandingkan planet–planet terestrial tetangganya, hanya di Bumi air berada dalam wujud cair dan berlimpah. Sangat berbeda dengan Mars, yang hanya bisa dijumpai adanya jejak–jejak aliran air purba di permukaannya dengan siklus pembasahan sekitar setengah hingga sejuta tahun sekali. Pun demikian Merkurius, dimana air bahkan hanya bisa dijumpai pada kawasan sangat terbatas di kedua kutubnya sebagai bekuan abadi (permafrost).
Darimana air di Bumi berasal menjadi pertanyaan besar yang terus menggayuti benak astronomi. Air diketahui tersedia berlimpah di kawasan pinggiran tata surya, tersimpan sebagai bekuan (es) pada kometisimal–kometisimal yang menghuni awan komet Opik–Oort maupun sabuk Kuiper–Edgeworth. Satu–satunya mekanisme yang memungkinkan mengangkut air dari kawasan ini ke bagian dalam tata surya, khususnya ke planet–planet terestrial dan lebih khusus lagi ke Bumi hanyalah tumbukan benda langit. Dalam hal ini adalah tumbukan komet dengan Bumi. Meski tumbukan komet selalu diikuti pelepasan energi sangat besar yang ditandai munculnya bola api tumbukan bersuhu sangat tinggi, namun distribusi suhunya tidaklah homogen sehingga hanya sebagian kecil saja air dalam komet yang terurai menjadi hidrogen dan oksigen. Sisanya tetap berupa air meski dalam wujud uap. Jejak kawah di Bulan menyajikan bukti telanjang bahwa Bumi purba pernah mengalami periode paling riuh dalam tumbukan dengan komet, yang dikenal sebagai Periode Hantaman Besar. Hantaman Besar berlangsung 4,2–3,8 milyar tahun silam, dengan jumlah tumbukan komet per satuan waktu adalah sangat besar hingga sejuta kali lipat dari nilai sekarang.
Namun komet dari mana yang berperan mengguyurkan air ke Bumi? Kini teka–teki itu mulai sedikit terkuak seiring publikasi hasil observasi terhadap komet Hartley 2 oleh para astronom Eropa yang bersenjatakan teleskop landas bumi Herschel. Komet yang melintas di dekat Bumi pada November 2010 lalu ternyata memiliki sidik jari nyaris identik dengan air di Bumi.
Berbeda dengan observasi in–situ seperti yang dilakukan NASA lewat misi EPOXI (Extrasolar Planet Observation and Deep Impact Extended Investigation) yang bertulangpunggungkan wahana antariksa veteran Deep Impact, observasi Herschel lebih menekankan pada komposisi air khususnya rasio air berat terhadap air ringan (air normal) dalam coma Hartley 2. Air berat merupakan istilah populer bagi D2O, yakni molekul identik air yang atom–atom hidrogennya digantikan oleh atom deuterium, yakni atom hidrogen yang inti atomnya berupa 1 proton + 1 neutron. Sementara air ringan adalah air biasa atau H2O. Rasio antara air berat terhadap air ringan, atau lebih spesifik lagi antara atom deuterium terhadap atom hidrogen, merupakan sidik jari bagi air.
Air di Bumi mengandung 1.558 atom deuterium dalam setiap 10 juta atom hidrogen. Sidik jari ini sangat berbeda dibandingkan air pada enam komet yang telah diobservasi sebelumnya dan diyakini berasal dari awan komet Opik–Oort, salah satunya komet Halley. Air pada komet–komet tersebut mengandung atom deuterium lebih besar yakni 2.960 atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Angka ini nyaris dua kali lipat sidik jari air di Bumi, sehingga jelas air di Bumi tidak berasal dari kometisimal–kometisimal awan komet Opik–Oort.
Yang mengejutkan, justru sidik jari air di meteorit karbon kondritik yang lebih mendekati sidik jari air di Bumi, yakni dengan komposisi sekitar 1.400 atom deuterium dalam setiap 10 juta atom hidrogen. Namun meteorit tipe ini merupakan pecahan asteroid, khususnya asteroid kelas M yang terletak di Sabuk Asteroid Utama. Asteroid M terdistribusi pada jarak antara 300 hingga 600 juta km dari Matahari dengan konsentrasi terbanyak pada jarak sekitar 450 juta km. Meskipun air pada masa tata surya purba, khususnya saat Matahari menjalani fase T–Tauri, berada pada jarak antara 600 hingga 750 juta km dari Matahari sehingga sebagian populasi asteroid M tercakup didalamnya, namun jumlahnya cukup kecil sehingga tidak memungkinkan mencukupi suplai air ke Bumi.
Observasi teleskop landas bumi Herschel dengan memanfaatkan instrumen Heterodyne Instrument for the Far Infrared menyajikan fakta : air di komet Hartley 2 mengandung 1.610 atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Sidik jari ini nyaris identik dengan sidik jari air di Bumi. Dan dengan fakta bahwa komet Hartley 2 berasal dari kometisimal sabuk Kuiper–Edgeworth, maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa air di Bumi memang datang dari kawasan ini. Inilah benang merah itu.
Dengan data terbaru ini maka kita mampu merekonstruksikan datangnya air ke Bumi dengan sedikit lebih baik. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Periode Hantaman Besar, yang disebabkan oleh migrasi planet–planet gas. Saturnus, Uranus dan Neptunus purba bergerak lebih menjauh terhadap Matahari dibanding lokasi pembentukannya, sementara Jupiter purba justru sebaliknya yakni lebih mendekat ke Matahari. Migrasi ini menyebabkan planetisimal–planetisimal mini yang berada di antaranya dipaksa hengkang dari lokasi pembentukannya. Sebagian dihentakkan keluar menjauhi Matahari hingga menyusun sabuk Kuiper–Edgeworth. Namun sebagian lainnya dipaksa melesat menuju kawasan tata surya bagian dalam sehingga menghujani planet–planet terestrial.
Pada periode ini, Bumi diperkirakan menerima sedikitnya 70 trilyun ton air, yang memungkinkan untuk menciptakan samudera pertama. Planet–planet terestrial lainnya pun mengalami hal serupa. Hanya saja baik Mars, Venus maupun Merkurius tidaklah seberuntung Bumi sehingga air tak dapat bertahan lama di permukaan planet–planet tersebut.
Sumber : www.langitbiru.com
0 komentar:
Posting Komentar